Konten [Tampil]
Cerita ini sebenarnya saya tangkap ketika perbincangan ringan bersama sopir travel bandara yang membawa saya menuju ke sebuah acara pertemuan blogger pertengahan Maret ini.
Si bapak sopir mengeluhkan sepinya pendapatan harian yang ia terima dari jasa travel bandara yang menjadi pekerjaannya.
"Inilah lemahnya sistem transparansi sekarang, Mba.." kata si bapak sopir mengawali perbincangan
"Maksudnya gimana, Pak?" saya balik bertanya.
"Saya bandingkan dengan dahulu ya , mba. Ketika banyak sekali pejabat maupun pegawai yang melakukan perjalanan dinas, maka kami masyarakat kecil ini kecipratan, mba."
"Ya, kecipratan uangnya lah..misalnya ada seorang pejabat melakukan perjalanan dinas lalu ia akan di berikan kesempatan terbang dengan tiket pesawat A, nginap di hotel A, sehingga kalau ditotalkan ia menggunakan dana misalnya 2.000.000 rupiah dalam satu kali perjalanan. Nah, dahulu dana tersebut utuh diberikan kepada si pejabat.
Oleh pejabat tersebut, ia bisa saja memesan tiket pesawat B, lalu hotel B yang pertimbangannya lebih murah. Tentu ada sisa kan, uang yang ia dapatkan di awal tadi. Nah, sisanya itulah biasanya mengalir secara langsung ke kami masyarakat kecil ini, mba."
"Bagaimana caranya?"
"Si pejabat tadi kan tentu kalau mau bepergian bawa oleh-oleh kan? Jadi kalau uangnya banyak sisa, dia akan membeli oleh-oleh banyak siapa yang kecipratan? Masyarakat kan? Dia akan menggunakan jasa-jasa kami ini, seringkali pejabat pejabat itu memberikan tip kepada kami-kami nih, mba..senang kan? Apalagi kalau si pejabat membawa keluarga, istrinya yang tentu akan belanja lebih banyak lagi.. Lah, siapa yang untung, masyarakat kan?"
"Lah kalau sistem saat ini yang katanya harus transparan, kalau pejabat pergi harus pake maskapai A, nginap di Hotel A laporannya juga harus jelas menggunakan stempel resmi maskapai A, Hotel A jadi yang kaya raya siapa dong? Tentu perusahaan A kan? Lha kami wong cilik ini gimana? gigit jari kan?Inilah yang saya katakan bahwa sistem transparansi itu tidak adil terhadap masyarakat kecil, dan membahagiakan buat orang kaya"
"Uang negara cuma diputar di kalangan tertentu saja tanpa memberikan kesempatan kepada pelaku usaha serupa untuk maju bersama"
Begitulah perbincangan singkat saya siang itu di taxi .
Nah, ternyata saya pun berhasil dibuat galau sama si bapak sopir, apa yang menjadi kegelisahan si bapak sopir tentu menjadi kegelisahan bersama. Apalagi di kalangan masyarakat penyedia jasa dalam lingkup yang kecil, usaha industri kecil dengan konsumen wisatawan domestik, tentu sebuah dilema tersendiri.
Menyoal Transparansi
Transparansi yang menjadi jargon pemerintahan saat ini memang dalam satu sisi menjadi barometer keberhasilan pemerintah dalam membina pegawainya. Para pegawai tidak bisa seenaknya mempermainkan uang negara untuk kepentingan pribadi. Jika wujudnya berupa perjalanan dinas tentu pembelanjaan yang terkait dengan perjalanan harus jelas dan transparan. Tidak ada yang direkayasa dan digelapkan. Sehingga pada akhirnya dana negara akan keluar jelas melalui satu pintu rekanan.
Namun perlu juga dipertimbangkan efek samping dari sistem ini. Jika perusahaan penyedia jasa yang berhubungan dengan fasilitas yang dipakai oleh pegawai dalam perjalanan dinasnya bukanlah perusahaan rekanan maka tentu akan mengurangi omzet mereka ,paling tidak telah terjadi persaingan yang tidak sehat antar sesama perusahaan yang sejenis.
Jayanya perusahaan rekanan
Saya bukanlah orang yang mengerti tentang proses pelelangan perusahaan sehingga menjadi perusahaan rekanan, namun paling tidak hendaknya pemerintah sudah mempertimbangkan tentang kemungkinan kemungkinan yang akan menjadi efek diterapkannya sistem ini. Kasihan sekali masyarakat kecil jika mereka berharap lebih dari kucuran tidak langsung dari uang negara yang notabene adalah andil dari mereka juga dalam hal membayar kewajiban seperti pajak dan sebagainya. Namun beralih ke kantong kantong pengusaha besar yang menjadi rekanan pemerintah.
Bukankah maksud dari pemerintah adalah untuk menyejahterakan rakyatnya ?
Semoga ada jalan keluarnya...
Postingan ini ternyata nyambung dengan yg saya alami tadi malem. Sepulang dari ngisi ngaji di kota, dalam perjalanan pulang, di dalam mobil sy mendapatkan cerita. Dulu pernah ada himbauan atau apa namanya, bahwa konsumsi dalam rapat2 urusan dinas hendaknya berupa makanan rakyat, seperti kacang godog, pisang godog, dan semacamnya. Dalam praktiknya, para penjual kacang dan pisang godog atau jajanan pasar lainnya itu tak punya NPWP. Nah, akhirnya tidak bisa di-SPJ-kan atau apa istilahnya tadi malem. Akhirnya, kembali ke menu-menu dari pemodal besar yg punya NPWP.
ReplyDeleteIya ya pak..dilema sekali. Disatu sisi mereka rakyat kecil ingin maju namun sisi lain pengusaha besar menjadi untung
Deleteserba salah juga sih... Dari segi si pengemudi dalam postingan ini saya maklumlah galaunya dia.
ReplyDeleteTapi saya gak suka pejabat2 yg dalam urusan pekerjaan bawa2 anak istri yang menginapnya pake uang yang saya bayarkan lewat pajak. Gak banyak karena gaji saya aja gak banyak... Saya aja jrg bisa jalan2, lah ini kok enak banget tuh istri pejabat bisa jalan dengan uang negara?
KAlau istri ikut dengan uang sendiri, beli oleh2 dengan uang sendiri... memangnya gak bisa?
Haha..iya sih saya juga gak suka dg model istriboejabat begitu. Tapi mereka rakyat kecil senang.gimana ya mba
Deletejadi ketauan ya selama ini para pejabat menghambur2kan uang dan membuat rakyat kecil senang karena mereka kecipratan. Apa gaji si pejabat tercinta ini gak cukup buat boleh oleh2 dan hal2 lain yg menghidupkan perekonimian masyarakat kecil ya? *garuk2 kepala yg medadak gatel*
DeleteSini tak bantuin garuk tho mba haha..
DeleteKalau saya lebih baik jalanin saja yang ada didepan kalau masalah hasil itu belakangan yang penting kerjanya yang maksimal dan pasti hasilnya pun tidak akan nipu.
ReplyDeleteSepakat..yang penting masyarakat tidak terpuruk dan pemerataan jelas adanya
DeleteMenarik banget Mbak bahasannya... dan emang serba salah sih... pengennya transparan untuk meminimalkan korupsi, tapi kena imbas ke masyarakat kalangan ekonomi menengah ke bawah ya. By the way, itu ilustrasi oleh-olehnya kayaknya enak ya, Mbak... Wahahahaha
ReplyDeleteIya..haha oleh olehnya enak ..
ReplyDeleteIya..haha oleh olehnya enak ..
ReplyDeletewah , pejabat enak banget ya, bisa biaya perjalanan yang besar. Apalagi ada yang bawa istri ... sebetulnya kalau istri bayar sendiri sih gak apa2 ya.
ReplyDeleteSemoga saat ini tidak ada ruang bagi mereka pejabat untuk mencari kesempatan. Tapi perlu juga menjadi perhatian bersama geliat usaha masyarakat kecil
Delete