PANGGIL
AKU BU MUSLIMAH!
(By:Yurmawita
Adismal
“Jika
dua digit dibelakang koma maka salahkan saja.”
Betul-betul tidak manusiawi wanita
yang satu ini. Menentukan Standar Deviasi harus tepat betul, yang hanya
menuliskan dua digit dibelakang koma terpaksa tidak mendapatkan nilai. Apalah
artinya bilangan dua digit di belakang koma? Jika dibulatkan dengan pembulatan
ratusan maka tentu tak akan mengubah nilai sesungguhnya bilangan itu. Namun
tidak bagi dia, segalanya harus pas dengan kemauan nya. Menyimpang sedikit
artinya sudah tak sesuai dengan jawaban sebenarnya.
Mata Bayu menyambar tubuh Muslimah.
Kali kedua ia terpaksa menahan geram. Tubuh saja yang mungil namun hati sang
guru bagai baja yang tak mampu di tembus oleh senjata apapun. Tidak juga oleh
Bayu. Cukuplah kejadian menghitung nilai Limit tak hingga dari pecahan yang
mempunyai pangkat tiga variabel dibagi pangkat empat variabel saja ia
dipermalukan di hadapan teman-temannya. Baginya
memakai sistem pemfaktoran merupakan cara untuk mendapatkan nilai Limit
di tak hingga tersebut. Namun ternyata pendapatnya dibantah habis-habisan oleh
sang guru.
“Bagi
dulu dengan pangkat tertinggi kemudian di masukkan nilai limit tak hingga nya!”
Bayu pun terhempas di cadas ketika
sang guru mati-matian menghinanya di hadapan teman-temannya. Tangannya
mengepal. Lalu ia pun keluar dan sebuah kursi taman menjadi sasaran tinjunya,
hancur menyisakan kepingan-kepingan semen bercampur pasir yang menyerbuk.
Dan kali kedua ia pun harus
mengalami hal serupa. Sepele sekali. Hanya karena ia menuliskan 56,42 untuk
nilai standar deviasi yang diminta di soal ulangan harian. Ia membulatkan dari
nilai semula yakni 56,416.
Cih…Bayu meludahi posisinya. Sayang
ia harus duduk di bangku ini. Hanya takdir saja yang membuatnya masih terdaftar
di sekolah ini. Kalau kemauan dan kemampuan barangkali sudah sama seperti
Muslimah. Masuk SD sudah berumur 8 tahun, menganggur ketika tamat SD 1 tahun,
kemudian harus pula menunggu tahun berikutnya untuk masuk SMA. Tentu secara
umur ia sama dengan Muslimah, hanya soal nasib saja yang berbeda.
Tinta merah untuk kertas ulangan harian Bayu. Hanya kurang 0,5 dari
angka sempurna. Dan itu pun tidak manusiawi. Ia bertekad harus menyelesaikan
secara humanisme.
Gemuruh di dada Bayu kian menggema manakala ia
tak sampai hati menginjak rumah yang lebih pantas disebut sebagai ‘gubuk’.
Rumah itu benar adalah rumah Muslimah, guru berhati baja. Ia mendapatkan alamat
rumah sang guru dari Bu Atik.
Karuan
saja hatinya berkecamuk. Tak sampai hati ia memaki Muslimah. Ia harus segera
menyingkir dari tempat itu, mengurungkan niatnya untuk menuntut hak atas
kecerdasannya. Namun belum lagi badannya berbalik arah. Sesosok Muslimah pun
sudah tersenyum di daun pintu.
“Setiap
keberhasilan harus dicapai dengan kerja keras. Setiap keberhasilan juga harus
di gapai dengan kecermatan, sebuah keberhasilan harus dicapai dengan sikap
Tawadlu. Dan kamu sangatlah jauh dari sifat itu, Nak!”
Bayu
tertunduk. “Tidaak…aku tak mau dipanggil ‘Nak’ “ bisiknya.
Sampai
akhirnya ia harus mengakui kehebatan sang Guru. Muslimah memang pandai menutupi
segala kekurangannya sampai-sampai tak seorang pun tahu jika dia harus berjuang
ditengah keterbatasan ekonomi keluarganya. Seorang lelaki tua tengah terkapar
di dalam rumah itu. Sifat keras tak tersaingi yang melekat padanya, hanyalah
sebuah rekayasa bagi kerapuhan jiwanya. Muslimah berjuang sendiri di tengah
kemelaratan keluarganya. Menjadi guru honorer di beberapa sekolah.
Bayu
pamit. Ia sudah cukup punya sesuatu yang membuat tekadnya pun semakin membaja.
Ia akan segera memanggil Muslimah dengan sebutan Bu Muslimah, meski dulu sempat
tak diinginkannya lantaran ketinggian hati sang Guru.
Bayu
merangkak mengejar mimpi. Lulus SMA ia pun memasuki dunia lain, dunia penuh
mimpi, bermodalkan kemampuan imajinasinya ia pun bekerja di belakang monitor.
Merangkai kata menuju puncak impian. Satu, dua, tiga buah buku karyanya
melambungkan namanya. Sampai akhirnya ia
pun sudah punya impian lain yang segera nyata.
Kembali
ia menyusuri jalan becek ke sebuah ‘gubuk’ yang dulu pernah ia singgahi. Sekitar 1 kilometer dari arena STQ yang
pernah menggaungkan nama Bengkulu di kancah nasional. Namun ia
tercengang. Gubuk itu sudah menjadi sebuah rumah bertingkat dihuni oleh si air
liur emas. Seseorang menyulap gubuk Muslimah menjadi sarang walet. Bayu berlari
mengejar sekelompok anak muda yang sedang bermain gaplek di suduk gang.
“Muslimah?”
“Yang
dulunya guru di Madrasyah, anak Pak Rasyid?”
Semua
terdiam . Bayu tak pernah sabar menanti. Ia pun melacak kalimat pemuda bertubuh
gempal di depannya.
“Tuh di sono, ujung. Samping
Mesjid. Yang ada Kamboja dan Puringnya.”
Bayu segera menyambar Avanza miliknya,
mengikuti arah telunjuk si Hitam. ia menuju Mesjid yang di tunjuk oleh pemuda
tersebut. Ia pun di hadapkan pada hamparan tanah. Sebagian sudah menyemak. Dan
yang lain memang di tumbuhi kamboja dan puring. Dua buah onggokan tanah
bergandeng di kedua sisinya. Dan Bayu mengeja huruf-huruf itu. Muslimah Binti
Rasyid. Onggokan tanah di sebelahnya, bertuliskan Rasyid bin Abdi. Dan Bayu pun
lunglai, menangisi kebodohan dan ketidak cermatannya,
Andai saja ia tak tinggi hati untuk
sekadar memberitahukan lewat surat saja,
akan maksud hatinya, mungkin saat ini ia sudah mendapatkan impian yang
terpendam direlung hatinya kala itu.
Dan Bayu memang harus memanggilnya dengan
sebutan Bu Muslimah, tidak yang lain. Seperti mimpi-mimpinya. Sepasang cincin yang
dipersiapkan terjatuh dari dalam sakunya saat ia tertunduk di tanah perkuburan
itu.
Kanker paru-paru yang disembunyikan
Muslimah di balik sikap bajanya, rupanya tak lagi bisa berkompromi. Dan ia pun
menyusul sang ayah dengan penyakit yang sama pula. (Bengkulu,24 Maret 2011)