Konten [Tampil]
Menabung Emas
Membaca Tulisan mba Rahmadiyanti Rivai tentang ‘Menulis Emas’ ternyata menginspirasiku untuk menulis tentang tema ini. EMAS.
Aku mengenal logam mulia ini dari kecil, namun baru setelah menikah aku baru bisa mengartikan bahwa betapa berharganya benda ini. Terutama bagi orang-orang zaman dahulu, maksudnya pendahulu-pendahulu semacam nenek, kakek, buyut dan orang-orang zaman baheula.
Ingatanku melayang pada cerita seorang nenek tua yang tinggal di desa ku. Sosok yang dapat membuat orang terkesima. Siapa yang menyangka Nek Ujang begitu ia disapa telah menunaikan ibadah haji di penghujung usianya dengan hasil keringatnya sendiri.
Ia tak mempunyai tanah warisan yang bisa dijual seperti orang-orang yang telah berhaji lainnya di desaku, ia pun tak mempunyai kebun karet, sawit, kopi maupun kebun coklat yang luas untuk membayar ongkos haji. Ia juga tak mempunyai banyak kerbau untuk dijual seperti yang lainnya.
Mak Ujang hanyalah seorang petani biasa. Tangan keriputnya hanya bisa merumput kebun sayur yang tak luas. Hanya sepetak ukuran 10 x 15 saja. Beberapa bagiannya sudah ditumbuhi pohon durian, dan enau serta beberapa pohon besar lainnya yang dibawahnya tak mungkin dapat ditanami sayuran lagi lantaran tanah dibawahnya telah sesak oleh akar pohon-pohon itu.
Setiap hari ia pergi ke kebun. Di sana ia memelihara tanaman sayurnya ada terong bulat, kacang panjang, tebu telur, dan singkong. Setiap tiga hari sekali ia memetik hasil kebunnya lalu berkeliling menawarkan kepada orang-orang di desa. Setiap rabu ia membawa hasil kebunnya ke pasar Rabu yang berjarak sekitar 6 kilo dari desa. Di sana ia akan mendapatkan uang lebih banyak daripada sekedar berkeliling desa.
Uang yang ia dapatkan dari hasil kebunnya itu tak seberapa, jika dibelikan beras mungkin hanya bisa ditukar dengan 2 atau 3 kilo beras saja dalam seminggu.
Nek Ujang punya caranya sendiri menyisihkan uang hasil kebunnya itu. Ia selalu menyelipkan setengah uang itu di dalam sarung bantal nya. Berapapun banyaknya uang yang ia dapatkan, maka tak lupa ia sisihkan sebagiannya. Jika ia berhasil mendapatkan uang Rp 500,- maka Rp 250,- ia simpan di bawah bantal.
Ketika ia melihat sarung bantal yang selalu ia pergunakan untuk tidur sekaligus sebagai tempat ia menyimpan uangnya sudah dekil dan hendak di cuci. Maka ia akan mendapatkan uangnya telah cukup untuk disimpan di tempat lainnya. Ia lalu memindahkan uang-uang receh ke dalam sebuah tas usang berbahan kain yang ia rajut sendiri. Kelak uang itu akan dibawanya ke pasar minggu sebuah pasar tetap di kotaku lalu ia akan membelikan emas sejumlah uang yang ia kumpulkan.
Kebiasaan ini terus menerus berlanjut hingga ia menghadapi masa tuanya. Lebih dari 20 tahun ia menabung dan telah banyak pula simpanan emas yang ia miliki. Dan ternyata apa yang lakukan tak sia-sia. Emas memang menguntungkan jika disimpan sampai kapanpun, nilainya tak berkurang bahkan akan terus menyesuaikan dengan nilai mata uang saat itu. Dan pilihan Mak Ujang adalah pilihan yang tepat.
Memasuki tahun 2001 ia lalu mengutarakan niatnya mau menunaikan ibadah haji kepada anak-anaknya yang telah berkeluarga. Hampir saja ia di cap aneh oleh anak-anaknya, dari mana mendapatkan uang untuk ongkos naik haji sedangkan untuk makan sehari-hari saja susah. Ia lalu menunjukkan tabungan emas yang telah bertahun-tahun disimpannya.
sampai akhirnya ia pun menginjakkan kakinya
ke tanah suci Makkah
Berbagai macam bentuk perhiasan emas yang ia kumpulkan dari zaman baheula, berbentuk cincin, anting, kerambu, bahkan kalung. Beratnyapun beragam mulai dari ½ , 1, 2 hingga 5 gr. Ia menunjukkan hasil jerih payahnya itu ke anak-anaknya.
Sampai akhirnya setelah antri 2 tahun lamanya, ia pun berangkat haji tanpa sedikitpun menyusahkan anak-anaknya. Bahkan sisa dari ongkos haji dapat ia sedekahkan ke mesjid di desanya.
Tak lama setelah ia menunaikan ibadah haji sekitar 2 tahun setelah itu ia kemudian dipanggil oleh Yang maha Kuasa, begitulah kisah nek Ujang yang telah membuka mata hatiku dan orang-orang di desa, bahwa menabung itu besar manfaatnya, apalagi menabung untuk niat mulia dan dengan cara yang tepat. Seperti yang dilakukan oleh nek Ujang.
Ada Emas di setiap rumah
Setiap orang yang akan membangun rumah di desaku selalu menyertakan emas ke salah satu bagian rumah mereka. Mereka percaya jika emas akan membuat rumah bercahaya, bersinar, mendatangkan rezeki serta menarik jika dipandang. Ada yang menyisipkan emas itu di atas kusen pintu, tentu tidak bisa dilihat dari luar karena diletakkan di dalam adonan semen. Ada pula yang meletakkan di tiang teras.
Mereka akan menanam emas itu ke bagian rumah mereka. Dan biasanya hanya tuan rumah yang tahu dimana emas itu diletakkan.
Cincin Penyembah
Kali ini masih merupakan cerita dari desa ku yang sungguh kental adat istiadatnya. Suku Lembak. Meski sudah membaur dengan beberapa suku di Bengkulu namun masih menyimpan kekayaan budaya yang tak bisa dihilangkan.
Ketika seorang perjaka meminang anak gadis, ia akan meminta kepada kedua orang tua si gadis untuk dipersunting. Biasanya akan ada serangkaian adat istiadat yang mesti ditempuh oleh pasangan pengantin sehingga resmi menjadi suami istri. Mulai dari acara meminang, antaran, ijab kabul, hingga prosesi melepas keperawanan tak lepas dari acara adat.
Jika emas dijadikan mas kawin sudah umum dilakukan oleh setiap pengantin. Namun jika emas dijadikan tukar menukar keperawanan ini yang tak biasa. Di suku Lembak ada adat yang mengatur hal ini. Seorang mempelai laki-laki baru bisa menikmati malam pertama bersama istrinya ketika ia telah menyerahkan cincin penyembah. Cincin penyembah menyimbolkan harga diri seorang wanita yang akan melepaskan status perawannya. Ia akan menjadi milik suaminya ketika sudah mendapatkan izin dari pihak ibu dari wanita tersebut. dan izin tersebut disimbolkan dengan cincin emas yang harus diserahkan oleh pengantin laki-laki kepada sang ibu pengantin perempuan.
Nilainya tidak ditetapkan tergantung keikhlasan dari sang mempelai laki-laki. Biasanya penyerahan cincin penyembah ini dilakukan setelah pesta pernikahan sudah selesai namun sebelum pengantin laki-laki dan perempuan bercampur sebagai suami istri. Biasanya sang ibu akan menunggu di depan pintu kamar anak perempuannya hingga cincin penyembah diserahkan oleh pengantin pria. Jika telah diberikan maka sang ibu akan mempersilahkan pengantin pria memasuki kamar anak gadisnya pertanda dihalalkan bagi mereka bercampur.
Inilah nilai emas memang tiada taranya, nilainya menyamakan nilai keperawanan seseorang. Terlebih jika diniatkan dengan baik maka akan berbuah manis dikemudian hari, seperti apa yang telah dilakukan oleh Nek Ujang di desaku.
Ketika orang beramai-ramai untuk menginvestasikan uang mereka dengan membelikan proferti yang kabarnya menyamakan dengan investasi emas maka memilih investasi logam mulia tetap menjadi pilihan bagi sebagian orang terutama ibu-ibu. Mereka akan sangat bangga jika mempunyai tabungan emas yang melilit di tubuhnya. Tak peduli apakah itu asli atau palsu. Asalkan serupa dengan bentuk dan warna emas tak apalalah.
(Yurmawita Adismal)
Sesuai banget dengan nasihat Nenek saya, jangan sampe gak punya Emas simpenan. Tadinya mah saya cuek aja, namanya masih SMP, Eh sekarang baru sadar, pas banget harga emas udah melonjak jadi 500rb-an :(
ReplyDeletesalam kenal,
ipehalena.tumblr.com
Iya nenek zaman dahulu emang keukeh nyimpen emas walau hidupnya sendiri pas Pasan bahkan cenderung prihatin
DeleteEmas itu merupakan salah satu investasi untuk jangka panjang ya mbak biar ada bekal untuk hari tua, terima kasih mbak infornya bermanfaat sekali :)
ReplyDeleteYes..menabung bekas ga rugi karena nilainya stabil
DeleteEmas juga bisa di jual lagi,, enaknya sih kalo di kasih, kalo beli kan sama aja ngk dapat untung :)
ReplyDeleteBeli sekarang jualnya nanti nanti jadi bisa mengikuti nilai mata uang
DeleteNanti nunggunya itu lo mba lama banget, kadang naik kadang juga turun.. kalo gitu kan mending beli tanah :) hehe
DeleteNabung emas mmg gk rugi mbak. Tapi d kmpung saya lg bnyk maling, jadi agak tkut jg kehilangan emas yg udah dikumpulin dgn ssh payah.. -___-
ReplyDelete